Di halaman depan sekolah ini berdiri sebuah patung Konfusius, seorang filsuf besar dari Tiongkok yang hidup sekitar 2.500 tahun yang lalu.
Konfusius dikenal sebagai guru bijak yang mengajarkan nilai-nilai luhur seperti ren (kasih sayang dan empati), li (kesopanan dan tata krama), serta yi (keadilan). Dia menekankan bahwa seorang guru maupun pemimpin harus menjadi teladan, membimbing dengan kebijaksanaan dan hati penuh welas asih.

Melihat kehadiran patung Konfusius, saya yakin sekolah ini sungguh-sungguh menanamkan nilai moral dan budi pekerti pada anak-anak. Apalagi ditambah gaya hidup vegetarian dan klaim pendidikan etika yang kuat. Namun apa yang saya alami justru berkebalikan dengan apa yang saya harapkan.
Saat Sekolah Menjadi Momok
Saya mendaftarkan anak saya untuk mengikuti kelas playgroup di salah satu sekolah yang ada di Pakuwon City. Pada hari pertama masuk sekolah, anak saya menangis.
Awalnya saya menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar. Saya berpikir anak menangis karena masih masa adaptasi. Tapi hari berganti minggu, hingga satu bulan penuh, tangisan itu tidak pernah berhenti.
Makin lama penolakan anak untuk sekolah semakin hebat. Awalnya hanya menolak memakai seragam dan sepatu. Hanya melihat seragam saja, ia sudah berlari menjauh atau menepis tangan saya
Kemudian setiap kali tiba di sekolah, ia menangis keras dan menolak turun dari mobil. Upaya membujuk tidak pernah berhasil.
Puncaknya adalah ketika anak saya meringkuk di dekat tembok setelah melihat gurunya. Ia jongkok sambil menunduk dan menutup kepalanya dengan kedua tangan. Seumur hidup saya belum pernah melihat anak saya meringkuk ketakutan seperti itu.
Dua Sekolah, Dua Pengalaman
Saya punya pengalaman berbeda dengan anak pertama. Di sekolahnya, aturan cukup longgar. Selama 3 hari pertama, orang tua boleh mendampingi anak di dalam kelas. Pendekatan ini membuat anak cepat merasa aman dan hanya butuh waktu 3–7 hari untuk beradaptasi.
Di sekolah kakaknya dulu, ruang tunggu dilengkapi dengan televisi yang terhubung langsung ke CCTV di dalam kelas. Dengan begitu, orang tua bisa memantau aktivitas anak secara real time dan merasa lebih tenang.
Sayangnya, adiknya tidak saya sekolahkan di sekolah yang sama karena sekolah tersebut pindah ke lokasi baru yang cukup jauh. Di sekolah si adik, orang tua hanya boleh menunggu di lantai 1, sementara anak-anak langsung berada di kelas yang ada di lantai 2. Perpisahan yang mendadak tanpa kehadiran orang tua di dekatnya jelas membuat adaptasi lebih sulit.
Mengapa Ini Tidak Bisa Dianggap Wajar
Berdasarkan pengalaman saya saat menyekolahkan si kakak, masa adaptasi normal di playgroup berlangsung 1–2 minggu.
Tidak ingin berpisah dari orang tua atau separation anxiety memang wajar terjadi pada anak usia 2–3 tahun. Namun jika penolakan berlangsung lebih dari 2 minggu, apalagi hingga berbulan-bulan dengan intensitas ketakutan yang meningkat, maka ada masalah serius yang perlu ditangani.
Artinya, pengalaman anak saya menolak sekolah selama sebulan penuh tidak bisa dianggap wajar. Apalagi ia sampai menunjukkan tanda trauma seperti meringkuk dan menutup kepala dengan tangan.
Tanggapan Pihak Sekolah
Saya mencoba mencari solusi dengan bertemu kepala sekolah. Namun tanggapan yang saya terima sangat mengecewakan.
Kepala sekolah seolah melempar kesalahan kepada anak saya, ia juga menyebut guru yang mengajar memiliki pengalaman bertahun-tahun sebagai guru playgroup. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa berdasarkan rekaman CCTV tidak terdapat pelanggaran. Kepala sekolah bahkan mengatakan wajar bila anak tidak mau sekolah, bahkan di angkatan terdahulu ada anak yang tidak mau sekolah hingga tiga bulan.
Bagi saya, pernyataan ini sungguh tidak masuk akal. Lebih lanjut, ketika anak dipertemukan dengan guru yang diduga membuatnya trauma, ia langsung menangis. Sebaliknya, ketika bertemu dengan guru atau staf lain ia hanya berkata tidak mau sekolah, tapi mau berinteraksi ketika diajak bermain atau berbicara.
Ketika Sekolah Menolak Bertanggung Jawab
Demi kesehatan mental anak, saya memutuskan untuk menghentikan sekolah. Saya juga meminta pengembalian sebagian uang pangkal yang sudah dibayarkan penuh untuk dua tahun. Anggaplah yang setahun hangus.
Pihak sekolah menolak permintaan saya. Mereka hanya bisa memberikan cuti selama 1 semester tanpa perlu membayar SPP. Tapi mereka tidak bisa memberikan jaminan bila setelah cuti anak saya tetap tidak mau sekolah. Karena guru yang membuatnya trauma masih ada di lingkungan sekolah tersebut.
Menurut keluarga dan kerabat kami, bukan hanya uang yang seharusnya kembali. Kami bahkan layak mendapatkan kompensasi atas trauma psikologis yang dialami anak, termasuk biaya konseling ke psikolog. Trauma bukan sekadar kerugian emosi, tetapi juga kerugian materiil maupun non-materiil.
Saya juga disarankan untuk menuntut sekolah tersebut ke pengadilan. Tapi saya tidak ingin memperparah trauma yang dialami oleh anak saya. Apalagi berkaitan dengan dunia peradilan ada pepatah yang berbunyi menang jadi arang, kalah jadi abu.
Trauma Anak, Luka Batin Orang Tua
Saya sudah tidak bisa berkata-kata lagi, saya merasa bingung, sedih dan kecewa. Bingung karena proses adaptasi yang saya harapkan lancar ternyata gagal total. Sedih karena saya tidak pernah menyangka akan melihat anak saya meringkuk menutup kepala dengan ketakutan. Itu adalah pemandangan yang terus membekas di hati saya sebagai orang tua.
Saya juga kecewa terhadap respon sekolah yang seolah melempar kesalahan ke anak saya. Bukannya menerima masukan dan memperbaiki SDM-nya, sekolah malah menganggap penolakan anak untuk sekolah sebagai sesuatu yang wajar dan akan hilang seiring waktu. Padahal sudah tampak jelas bahwa ini adalah trauma, bukan adaptasi.
Jangan Sampai Anak Anda Mengalami Hal yang Sama
Pengalaman ini saya tulis bukan untuk menjatuhkan pihak manapun. Makanya saya tidak menyebutkan nama sekolah yang telah mengecewakan kami tersebut. Saya hanya ingin membagikan pelajaran berharga yang saya peroleh dari kejadian ini.
Bagi para orang tua, khususnya yang ingin menyekolahkan anaknya di playgroup, jangan hanya percaya pada brosur, reputasi, atau simbol moral.
Perhatikan bagaimana sekolah benar-benar memperlakukan anak Anda. Cari tahu aturan adaptasi sejak awal: apakah ada fleksibilitas? apakah orang tua boleh mendampingi? apakah ada transparansi lewat CCTV?
Ingat! bila anak Anda tidak mau sekolah lebih dari 1 minggu, itu tanda bahaya yang serius.
Sekolah yang benar-benar mengajarkan nilai moral harus menjadikan empati dan rasa aman sebagai inti dari semua proses belajar, bukan sekadar jargon, simbol atau patung.
Mencegah trauma anak jauh lebih penting daripada reputasi sekolah atau uang yang sudah terlanjur keluar. Pendidikan sejati adalah ketika anak merasa aman, dicintai, dan bahagia untuk belajar. Bukan ketika ia pulang dengan air mata dan ketakutan.